Vatikan II
Konsili
Vatikan II adalah Konsili uskup sedunia yang diadakan di Vatikan, Roma
pada tahun 1962-1965 (terdiri dari 4 periode), yang diprakarsai oleh
Paus Yohanes XXIII. Tujuannya adalah untuk memperbaharui Gereja secara
spiritual dengan cara kembali ke sumber Tradisi Suci yang lama baik yang
tertulis (Kitab Suci) maupun yang lisan, seperti dari para Bapa Gereja
dan tulisan Para Orang Kudus (ressourcement). Diharapkan dengan
demikian, Gereja dapat memperoleh kesegaran baru sehingga dapat
menjawab tantangan zaman, dan iman Katolik dapat diterapkan di dalam
kehidupan sehari-hari (aggiornamento). Tujuan akhir dari
pembaharuan ini adalah memusatkan Gereja pada pribadi Kristus dan pada
Misteri Paska-Nya, yang diterjemahkan oleh Konsili sebagai seruan
panggilan kepada semua orang untuk hidup kudus.
Salah Satu Hasil Konsili Vatikan II:
KONSTITUSI TENTANG LITURGI SUCI
PAULUS USKUP
HAMBA PARA HAMBA ALLAH
BERSAMA-BAPA-BAPA KONSILI SUCI
DEMI KENANGAN ABADI
KONSTITUSI TENTANG LITURGI SUCI
PENDAHULUAN
1.
KONSILI SUCI bermaksud makin meningkatkan kehidupan Kristiani di
antara umat beriman; menyesuaikan lebih baik lagi lembaga-lembaga yang
dapat berubah dengan kebutuhan zaman kita; memajukan apa saja yang dapat
membantu persatuan semua orang yang beriman akan Kristus; dan
meneguhkan apa saja yang bermanfaat untuk mengundang semua orang dalam
pangkuan Gereja. Oleh karena itu Konsili memandang sebagai kewajibannya
untuk secara istimewa mengusahakan juga pembaharuan dan pengembangan
liturgi.
2.
Sebab melalui liturgi dalam Kurban Ilahi Ekaristi, “terlaksanalah karya penebusan kita”
[1].
Liturgi merupakan upaya yang sangat membantu kaum beriman untuk dengan
penghayatan, mengungkapkan Misteri Kristus serta hakikat asli Gereja
yang sejati, serta memperlihatkan itu kepada orang-orang lain, yakni
bahwa Gereja bersifat sekaligus manusiawi dan Ilahi, kelihatan namun
penuh kenyataan yang tak kelihatan, penuh semangat dalam kegiatan namun
meluangkan waktu juga untuk kontemplasi, hadir di dunia namun sebagai
musafir. Dan semua itu berpadu sedemikian rupa, sehingga dalam Gerja apa
yang insani diarahkan dan diabdikan kepada yang ilahi, apa yang
kelihatan kepada yang tidak nampak, apa yang termasuk kegiatan kepada
kontemplasi, dan apa yang ada sekarang kepada kota yang akan datang,
yang sedang kita cari
[2]
. Maka dari itu liturgi setiap hari membangun mereka yang berada
didalam Gereja menjadi kenisah suci dalam Tuhan, menjadi kediaman Allah
dalam Roh
[3] , sampai mereka mencapai kedewasaan penuh sesuai dengan kepenuhan Kristus
[4]
. Maka liturgi sekaligus secara mengagumkan menguatkan tenaga mereka
untuk mewartakan Kristus, dan dengan demikian menunjukan Gereja kepada
mereka yang berada di luarnya sebagai tanda yang menjulang di antara
bangsa-bangsa
[5]. Di bawah tanda itu putera-puteri Allah yang tercerai berai dihimpun menjadi satu
[6] , sampai terwujudlah satu kawanan dan satu gembala
[7] .
3.
Oleh karena itu dalam hal pengembangan dan pembaharuan liturgi,
Konsili suci berpendapat: perlu meningkatkan lagi azas-azas berikut dan
menetapkan kaidah-kaidah praktis. Di antara azas-azas dan kaidah-kaidah
itu ada beberapa yang dapat dan harus diterapkan pada ritus romawi
maupun pada semua ritus lainnya. Namun kaidah-kaidah praktis berikut
harus dipandang hanya berlaku bagi ritus romawi, kecuali bila menyangkut
hal-hal yang menurut hakekatnya juga mengenai ritus-ritus lain.
4.
Akhirnya, setia mengikuti tradisi, Konsili suci menyatakan pandangan
Bunda Gereja yang kudus, bahwa semua ritus yang diakui secara sah
mempunyai hak dan martabat yang sama. Gereja menhendaki agar ritus-ritus
itu di masa mendatang dilestarikan dan dikembangkan dengan segala daya
upaya. Konsili menghimbau agar bilamana perlu ritus-ritus itu ditinjau
kembali dengan seksama dan secara menyeluruh, sesuai dengan jiwa tradisi
yang sehat, lagi pula diberi gairah baru, sesuai dengan keadaan dan
kebutuhan zaman sekarang.
BAB SATU – AZAS-AZAS UMUM UNTUK MEMBAHARUI DAN MENGEMBANGKAN LITURGI
I. HAKEKAT DAN MAKNA LITURGI SUCI DALAM KEHIDUPAN
5. (Karya keselamatan dilaksanakan oleh Kristus)
Allah menghendaki supaya semua manusia selamat dan mengenal kebenaran
(1 Tim 2:4). Setelah Ia pada zaman dahulu berulang kali dan dengan
pelbagai cara bersabda kepada nenek-moyang kita dengan perantaraan para
nabi (Ibr 1:1), ketika genaplah waktunya, Ia mengutus Putera-Nya, Sabda
yang menjadi daging dan diurapi Roh Kudus, untuk mewartakan Kabar
Gembira kepada kaum miskin, untuk menyembuhkan mereka yang remuk redam
hatinya
[8] , “sebagai tabib jasmani dan rohani”
[9] , Pengantara Allah dan manusia
[10]
. Sebab dalam kesatuan pribadi Sabda kodrat kemanusiaan-Nya menjadi
upaya keselamatan kita. Oleh karena itu dalam Kristus “pendamaian kita
mencapai puncak kesempurnaannya, dan kita dapat melaksanakan ibadat
Ilahi secara penuh”
[11] .
Adapun
karya penebusan umat manusia dan permuliaan Allah yang sempurna itu
telah diawali dengan karya agung Allah di tengah umat Perjanjian Lama.
Karya itu diselesaikan oleh Kristus Tuhan, terutama dengan misteri
Paska: sengsara-Nya yang suci, kebangkitan-Nya dari alam maut, dan
kenaikan-Nya dalam kemuliaan. Dengan misteri itu Kristus “menghancurkan
maut kita dengan wafat-Nya, dan membangun kembali hidup kita dengan
kebangkitan-Nya”
[12] . Sebab dari lambung Kristus yang beradu di salib muncullah Sakramen seluruh Gereja yang mengagumkan
[13] .
6. (Karya keselamatan yang dilestarikan oleh Gereja, terlaksana dalam liturgi)
Oleh karena itu, seperti Kristus diutus oleh Bapa, begitu pula Ia
mengutus para rasul yang dipenuhi Roh Kudus. Mereka itu diutus bukan
hanya untuk mewartakan Injil kepada makhluk
[14] , dan memberitakan bahwa Putera Allah dengan wafat dan kebangkitan-Nya telah membebaskan kita dari kuasa setan
[15]
dan maut, dan telah memindahkan kita ke Kerajaan Bapa; melainkan juga
untuk mewujudkan karya keselamatan yang mereka wartakan itu melalui
kurban dan Sakramen-sakramen, sebagai pusat seluruh hidup liturgis.
Demikianlah melalui baptis orang-orang dimasukkan kedalam misteri Paska
Kristus : mereka mati, dikuburkan dan dibangkitkan bersama Dia
[16]
; mereka menerima Roh pengangkatan menjadi putra, dan dalam Roh itu
kita berseru : Abba, Bapa (Rom 8:15); demikianlah mereka menjadi
penyembah sejati, yang dicari oleh Bapa
[17] . Begitu pula setiap kali mereka makan perjamuan Tuhan, mereka mewartakan wafat Tuhan sampai Ia datang
[18]
. Oleh karena itu pada hari Pantekosta, ketika Gereja tampil di depan
dunia, mereka yang menerima amanat Petrus “dibaptis”. Dan mereka
“bertekun dalam ajaran para Rasul serta selalu berkumpul untuk
memecahkan roti dan berdoa … sambil memuji Allah, dan mereka disukai
seluruh rakyat” (Kis 2:41-47). Sejak itu Gereja tidak pernah lalai
mengadakan pertemuan untuk merayakan misteri Paska; disitu mereka
membaca “apa yang tercantum tentang Dia dalam seluruh Kitab suci (Luk
24:27); mereka merayakan Ekaristi, yang menghadirkan kejayaan-Nya atas
maut”
[19]
, dan sekaligus mengucap syukur kepada “Allah atas karunia-Nya yang
tidak terkatakan” (2Kor 9:15) dalam Kristus Yesus, “untuk memuji
keagungan-Nya” (Ef 1:12) dengan kekuatan Roh Kudus.
7. (Kehadiran Kristus dalam liturgi)
Untuk melaksanakan karya sebesar itu, Kristus selalu mendampingi
Gereja-Nya terutama dalam kegiatan-kegiatan liturgis. Ia hadir dalam
Kurban Misa, baik dalam pribadi pelayan, “karena yang sekarang
mempersembahkan diri melalui pelayanan imam sama saja dengan Dia yang
ketika itu mengorbankan Diri di kayu salib
[20]
, maupun terutama dalam (kedua) rupa Ekaristi. Dengan kekuatan-Nya Ia
hadir dalam Sakramen-sakramen sedemikian rupa, sehingga bila ada orang
yang membaptis, Kristus sendirilah yang membaptis
[21]
. Ia hadir dalam Sabda-Nya, sebab Ia sendiri bersabda bila Kitab suci
dibacakan dalam Gereja. Akhirnya Ia hadir, sementara Gereja memohon dan
bermazmur karena Ia sendiri berjanji : bila dua atau tiga orang
berkumpul dalam nama-Ku, di situlah Aku berada di antara mereka (Mat
18:28).
Memang sungguh, dalam karya seagung itu, saat Allah
dimuliakan secara sempurna dan manusia dikuduskan, Kristus selalu
menggabungkan Gereja, mempelai-Nya yang amat terkasih, dengan diri-Nya.
Gereja yang berseru kepada Tuhannya dan melalui Dia berbakti kepada Bapa
yang kekal.
Maka, benarlah bahwa liturgi dipandang sebagai
pelaksanaan tugas imamat Yesus Kristus. Di dalam liturgi, dengan
tanda-tanda lahiriah, pengudusan manusia dilambangkan dan dihasilkan
dengan cara yang sesuai dengan masing-masing tanda ini; di dalam
Liturgi, seluruh ibadat publik dilaksanakan oleh Tubuh Mistik Yesus
Kristus, yakni Kepala beserta para anggota-Nya.
Oleh karena itu
setiap perayaan liturgis sebagai karya Kristus sang Imam serta Tubuh-Nya
yakni Gereja, merupakan kegiatan suci yang sangat istimewa. Tidak ada
tindakan Gereja lainnya yang menandingi daya dampaknya dengan dasar yang
sama serta dalam tingkatan yang sama.
8. (Liturgi di dunia ini dan Liturgi di Surga)
Dalam liturgi di dunia ini kita ikut mencicipi liturgi surgawi, yang
dirayakan di kota suci Yerusalem, tujuan peziarahan kita. Di sana
Kristus duduk di sisi kanan Allah, sebagai pelayan tempat tersuci dan
kemah yang sejati
[22]
. Bersama dengan segenap bala tentara surgawi kita melambungkan kidung
kemuliaan kepada Tuhan. Sementara menghormati dan mengenangkan para
Kudus kita berharap akan ikut serta dalam persekutuan dengan mereka.
Kita mendambakan Tuhan kita Yesus Kristus penyelamat kita, sampai Ia
sendiri, hidup kita, akan nampak, dan kita akan nampak bersama
dengan-Nya dalam kemuliaan
[23] .
9. (Liturgi bukan satu-satunya kegiatan Gereja)
Liturgi suci tidak mencakup seluruh kegiatan Gereja. Sebab sebelum
manusia dapat mengikuti liturgi, ia perlu dipanggil untuk beriman dan
bertobat: “bagaimana ia akan berseru kepada Dia yang tidak mereka imani?
Atau bagaimana mereka akan mengimani-Nya bila mereka tidak mendengar
tentang Dia? Dan bagaimana mereka akan mendengar bila tidak ada pewarta?
Lalu bagaimana mereka akan mewartakan kalau tidak diutus?” (Rom
10:14-15).
Oleh karena itu Gereja mewartakan berita keselamatan
kepada kaum tak beriman, supaya semua orang mengenal satu-satunya Allah
yang sejati dan Yesus Kristus yang diutus-Nya lalu bertobat dari jalan
hidup mereka seraya menjalankan ulah tapa
[24]
. Tetapi kepada Umat berimanpun Gereja selalu wajib mewartakan iman dan
pertobatan; selain itu harus menyiapkan mereka untuk menerima
sakramen-sakramen, mengajar mereka mengamalkan segala sesuatu yang telah
diperintahkan oleh Kristus
[25]
, dan mendorong mereka untuk menjalankan semua amal cinta kasih,
kesalehan dan kerasulan. Berkat karya-karya itu akan menjadi jelas bahwa
kaum beriman kristiani memang bukan dari dunia ini, melainkan menjadi
terang dunia dan memuliakan Bapa di hadapan orang-orang.
10. (Liturgi puncak dan sumber kehidupan Gereja)
Akan tetapi liturgi itu puncak yang dituju kegiatan Gereja, dan serta
merta sumber segala daya-kekuatannya. Sebab usah-usaha kerasulan
mempunyai tujuan ini: supaya semua orang melalui iman dan baptis menjadi
putera-putera Allah, berhimpun menjadi satu, meluhurkan Allah di tengah
Gereja, ikut serta dalam Kurban dan menyantap perjamuan Tuhan.
Di
lain pihak liturgi sendiri mendorong umat beriman, supaya sesudah
dipuaskan “dengan Sakramen-sakramen Paska menjadi sehati-sejiwa dalam
kasih”
[26] . Liturgi berdoa supaya “mereka mengamalkan dalam hidup sehari-hari apa yang mereka peroleh dalam iman”
[27]
. Adapun pembaharuan perjanjian Tuhan dengan manusia dalam Ekaristi
menarik dan mengobarkan Umat beriman dalam cinta kasih Kristus yang
membara. Jadi dari liturgi, terutama dari Ekaristi, bagaikan dari
sumber, mengalirlah rahmat kepada kita, dan dengan hasil guna yang amat
besar diperoleh pengudusan manusia dan permuliaan Allah dalam Kristus,
tujuan semua karya Gereja lainnya.
11. (Perlunya persiapan pribadi)
Akan tetapi supaya hasil guna itu diperoleh sepenuhnya, Umat beriman
perlu datang menghadiri liturgi suci dengan sikap-sikap batin yang
serasi. Hendaklah mereka menyesuaikan hati dengan apa yang mereka
ucapkan, serta bekerja sama dengan rahmat surgawi, supaya mereka jangan
sia-sia saja menerimanya
[28]
. Maka dari itu hendaklah para gembala rohani memperhatikan dengan
seksama, supaya dalam kegiatan liturgi jangan hanya dipatuhi
hukum-hukumnya untuk merayakannya secara sah dan halal, melainkan supaya
umat beriman ikut merayakannya dengan sadar, aktif dan penuh makna.
12. (Liturgi dan ulah kesalehan)
Akan tetapi hidup rohani tidak tercakup seluruhnya dengan hanya ikut
serta dalam liturgi. Sebab semua manusia kristiani; yang memang
dipanggil untuk berdoa bersama, toh harus memasuki biliknya juga untuk
berdoa kepada Bapa di tempat yang tersembunyi
[29] . Bahkan menurut amanat Rasul (Paulus) ia harus berkajang dalam doa
[30]
. Dan Rasul itu juga mengajar, supa ya kita selalu membawa kematian
Yesus dalam tubuh kita, supaya hidup Yesus pun menjadi nyata dalam
daging kita yang fana
[31]
. Maka dari itu dalam kurban Misa kita memohon kepada Tuhan, supaya
dengan menerima persembahan kurban rohani, Ia menyempurnakan kita
sendiri menjadi kurban abadi bagi diri-Nya
[32] .
13.
Ulah kesalehan Umat kristiani, asal saja sesuai dengan hukum-hukum
dan norma-norma Gereja, sangat dianjurkan, terutama bila dijalankan atau
penetapan Takhta Apostolik.
Begitu pula ulah kesalehan yang khas
bagi Gereja-gereja setempat memiliki makna istimewa, bila dilakukan atas
penetapan para Uskup, menurut adatkebiasaan atau buku-buku yang telah
disahkan.
Akan tetapi, sambil mengindahkan masa-masa liturgi, ulah
kesalehan itu perlu diatur sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan
liturgi suci; sedikit banyak harus bersumber pada liturgi, dan
menghantar Umat kepadaNya; sebab menurut hakikatnya hal besar liturgi
memang jauh unggul dari semua ulah kesalehan itu.
II. PENDIDIKAN LITURGI DAN KEIKUT-SERTAAN AKTIF
14.
Bunda Gereja sangat menginginkan, supaya semua orang beriman
dibimbing kearah keikut-sertaan yang sepenuhnya, sadar dan aktif dalam
perayaan-perayaan liturgi. Keikut-sertaan seperti itu dituntut oleh
liturgi sendiri, dan berdasarkan Baptis merupakan hak serta kewajiban
umat kristiani sebagai “bangsa terpilih, imamat rajawai, bangsa yang
kudus, Umat kepunyaan Allah sendiri” (1Ptr 2:9; Lih. 2:4-5).
Dalam
pembaharuan dan pengembangan liturgi suci keikut-sertaan segenap Umat
secara penuh dan aktif itu perlu beroleh perhatian yang terbesar. Sebab
bagi kaum beriman merupakan sumber utama yang tidak tergantikan, untuk
menimba semangat kristiani yang sejati. Maka dari itu dalam seluruh
kegiatan pastoral mereka para gemabala jiwa harus mengusahakannya dengan
rajin melalui pendidikan yang seperlunya.
Akan tetapi supaya itu
tercapai tiada harapan lain kecuali bahwa lebih dahulu para gembala jiwa
sendiri secara mendalam diresapi semangat dan daya liturgi, serta
menjadi mahir untuk memberi pendidikan liturgi. Oleh karena itu sangat
perlulah bahwa pertama-tama pendidikan liturgi klerus dimantapkan. Maka
Konsili suci memutuskan ketetapan-ketetapan berikut.
15. (Pembinaan para dosen Liturgi)
Para dosen, yang ditugaskan untuk mengajarkan mata kuliah Liturgi di
seminari-seminari, rumah-rumah pendidikan para religius dan
fakultas-fakultas teologi, perlu dididik dengan sungguh-sungguh di
lembaga-lembaga yang secara istimewa diperuntukkan bagi tujuan itu,
untuk menunaikan tugas mereka.
16. (Pendidikan Liturgi kaum rohaniwan)
Di seminari-seminari dan di rumah-rumah pendidikan para religius mata
kuliah Liturgi harus dipandang sebagai mata kuliah wajib dan penting,
sedangkan di fakultas-fakultas teologi sebagai salah satu mata kuliah
utama. Mata kuliah Liturgi hendaknya diajarkan dari segi teologi dan
sejarah maupun dari segi hidup rohani, pastoral dan hukum. Selain itu
hendaklah para dosen mata kuliah lain-lainnya, terutama teologi
dogmatis, Kitab suci, teologi hidup rohani dan pastoral, – dengan
bertolak dari persyaratan instrinsik masing-masing pokok bahasan,
-menguraikan misteri Kristus dan sejarah keselamatan sedemikian rupa,
sehingga jelas-jelas nampak hubungannya dengan liturgi dan keterpaduan
pembinaan iman.
17.
Hendaklah para rohaniwan di seminari-seminari maupun di rumah-rumah
religius, mendapat pembinaan liturgis demi hidup rohani mereka, baik
melalui bimbingan yang memadai untuk memahami upacara-upacara suci
sendiri, pun juga melalui ulah kesalehan lainnya yang diresapi oleh
semangat liturgi. Begitu pula hendaklah mereka belajar mematuhi
hukum-hukum liturgi, sehingga kehidupan di seminari-seminari dan
tarekat-tarekat religius dirasuki semangat liturgi secara mendalam.
18.
Hendaklah para imam baik diosesan maupun religius, yang sudah
berkarya di kebun anggur Tuhan, dibantu dengan segala upaya yang
memadai, supaya mereka semakin mendalam memahami apa yang mereka
laksanakan dalam pelayanan-pelayanan suci, menghayati hidup liturgis,
dan menyalurkannya kepada Umat beriman yang dipercayakan kepada mereka.
19. (Pembinaan kaum Liturgis beriman)
Hendaklah para gembala jiwa dengan tekun dan sabar mengusahakan
pembinaan liturgi kaum beriman serta secara aktif, baik lahir maupun
batin, sesuai dengan umur, situasi, corak hidup dan taraf perkembangan
religius mereka. Dengan demikian mereka menunaikan salah satu tugas
utama pembagi misteri-misteri Allah yang setia. Dalam hal ini hendaklah
mereka membimbing kawanan mereka bukan saja dengan kata-kata, melainkan
juga dengan teladan.
20. (Sarana-sarana audio-visual dan perayaan liturgi)
Siaran-siaran upacara suci melaui radio dan televisi, terutama bila
meliput perayaan Ekaristi, hendaklah berlangsung dengan bijak dan penuh
hormat, di bawah bimbingan dan tanggung jawab seorang ahli, yang
ditunjuk oleh para Uskup untuk tugas itu.
III. PEMBAHARUAN LITURGI
21.
Supaya lebih terjaminlah bahwa Umat kristiani memperoleh rahmat
berlimpah dalam liturgi suci, Bunda Gereja yang penuh kasih ingin
mengusahakan dengan seksama pembaharuan umum liturgi sendiri. Sebab
dalam liturgi terdapat unsur yang tidak dapat diubah karena ditetapkan
oleh Allah, maupun unsur-unsur yang dapat berubah, yang disepanjang masa
dapat atau bahkan mengalami perubahan, sekiranya mungkin telah disusupi
hal-hal yang kurang serasi dengan inti hakikat liturgi sendiri, atau
sudah menjadi kurang cocok. Adapun dalam pembaharuan itu naskah-naskah
dan upacara-upacara harus diatur sedemikian rupa, sehingga lebih jelas
mengungkapkan hal-hal kudus yang dilambangkan. Dengan demikian Umat
kristiani sedapat mungkin menangkapnya dengan mudah, dan dapat ikut
serta dalam perayaan secara penuh, aktif dan dengan cara yang khas bagi
jemaat. Maka Konsili suci menetapkan norma-norma berikut yang lebih
bersifat umum.
A. Kaidah-kaidah umum
22. (Pengaturan Liturgi)
(1) Wewenang untuk mengatur liturgi semata-mata ada pada pi mpinan
Gereja, yakni Takhta Apostolik, dan menurut kaidah hukum pada uskup.
(2)
Berdasarkan kuasa yang diberikan hukum, wewenang untuk mengatur
perkara-perkara liturgi dalam batas-batas tertentu juga ada pada
pelbagai macam Konferensi Uskup sedaerah yang didirikan secara sah.
(3)
Maka dari itu tidak seorang lainnya pun, meskipun imam, boleh
menambahkan, meniadakan atau mengubah sesuatu dalam liturgi atas
prakarsa sendiri.
23. (Tradisi dan perkembangan)
Supaya tradisi yang sehat dipertahankan, namun dibuka jalan juga bagi
perkembangan yang wajar, hendaknya selalu diadakan lebih dulu
penyeklidikan teologis, historis, dan pastoral, yang cermat tentang
setiap bagian liturgi yang perlu ditinjau kembali. Kecuali itu hendaklah
dipertimbangkan baik patokanpatokan umum tentang susunan dan makna
liturgi, maupun pengalaman yang diperoleh dari pembaharuan liturgi
belakangan ini serta dari izin-izin yang diberikan di sana-sini.
Akhirnya janganlah kiranya diadakan hal-hal baru, kecuali bila
sungguh-sungguh dan pasti dituntut oleh kepentingan Gereja; dan dalam
hal ini hendaknya diusahakan dengan cermat, agar bentuk-bentuk baru itu
bertumbuh secara kurang lebih organis dari bentuk-bentuk yang sudah ada.
Sedapat mungkin hendaknya dicegah juga, jangan sampai ada
perbedaanperbedaan yang menyolok dalam upacara-upacara di daerah-daerah
yang berdekatan.
24. (Kitab suci dan Liturgi)
Dalam perayaan liturgi Kitab suci sangat penting. Sebab dari Kitab
sucilah dikutib bacaan-bacaan, yang dibacakan dan dijelaskan dalam
homili, serta mazmurmazmur yang dinyanyikan. Dan karena ilham serta jiwa
Kitab sucilah dilambungkan permohonan, doa-doa dan madah-madah liturgi;
dari padanya pula upacara serta lambang-lambang memperoleh maknanya.
Maka untuk membaharui, mengembangkan dan menyesuaikan liturgi suci perlu
dipupuk cinta yang hangat dan hidup terhadap Kitab suci, seperti
ditunjukkan oleh tradisi luhur ritus Timur maupun ritus Barat.
25. (Peninjauan kembali buku-buku Liturgi)
Hendaknya buku-buku liturgi selekas mungkin ditinjau kembali, dengan
meminta bantuan para ahli dan berkonsultasi dengan para Uskup di
pelbagai kawasan dunia.
B. Kaidah-kaidah berdasarkan hakikat liturgi sebagai tindakan Hirarki dan jemaat
26.
Upacara-upacara liturgi bukanlah tindakan perorangan, melainkan
perayaan Gereja sebagai sakramen kesatuan, yakni Umat kudus yang
berhimpun dan diatur di bawah para Uskup
[33]
. Maka upacara-upacara itu menyangkut seluruh Tubuh Gereja dan
menampakkan serta mempengaruhinya; sedangkan masing-masing anggota
disentuhnya secara berlain-lainan, menurut keanekaan tingkatan, tugas
serta keikut-sertaan aktual mereka.
27. (Perayaan bersama)
Setiap kali suatu upacara, menurut hakikatnya yang khas,
diselenggarakan sebagai perayaan bersama, dengan dihadiri banyak Umat
yang ikut-serta secara aktif, hendaknya ditandaskan, agar bentuk itu
sedapat mungkin diutamakan terhadap upacara perorangan yang seolah-olah
bersifat pribadi. Terutama itu berlaku bagi perayaan Misa, tanpa
mengurangi kenyataan, bahwa setiap Misa pada hakikatnya sudah bersifat
resmi dan umum, begitu pula bagi pelayanan Sakramen-sakramen.
28. (Martabat perayaan)
Pada perayaan-perayaan liturgi setiap anggota, entah pelayan
(pemimpin) entah Umat, hendaknya dalam menunaikan tugas hanya
menjalankan, dan melakukan seutuhnya, apa yang menjadi perannya menurut
hakikat perayaan serta kaidah-kaidah liturgi.
29.
Juga para pelayan Misa (putera altar), para lektor, para komentator
dan para anggota paduan suara benar-benar menjalankan pelayanan
liturgis. Maka hendaknya mereka menunaikan tugas dengan saleh, tulus dan
saksama, sebagaimana layak untuk pelayanan seluhur itu, dan sudah
semestinya dituntut dari mereka oleh Umat Allah. Maka perlulah mereka
secara mendalam diresapi semangat liturgi, masing-masing sekadar
kemampuannya, dan dibina untuk membawakan peran mereka dengan tepat dan
rapih.
30. (Keikut-sertaan aktif Umat beriman)
Untuk meningkatkan keikut-sertaan aktif, hendaknya aklamasi oleh
Umat, jawaban-jawaban, pendarasan mazmur, antifon-antifon dan lagu-lagu,
pun pula gerak-gerik, peragaan serta sikap badan dikembangkan. Pada
saat yang tepat hendaklah diadakan juga saat hening yang kidmat.
31.
Dalam meninjau kembali buku-buku liturgi hendaklah diperhatikan
dengan saksama, supaya rubrik-rubrik juga mengatur peran Umat beriman.
32. (Liturgi dan kelompok-kelompok sosial)
Kecuali perbedaan berdasarkan tugas liturgi dan Tahbisan suci, dan
selain penghormatan yang menurut kaidah-kaidah liturgi harus diberikan
kepada para pemuka-pemuka masayarakat, janganlah diberikan kedudukan
istimewa kepada pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok tertentu, baik
dalam upacara maupun dengan penampilan lahiriah.
C. Kaidah-kaidah berdasarkan sifat pembinaan dan pastoral liturgi
33.
Meskipun liturgi suci terutama merupakan ibadat kepada Keagungan Ilahi, namun mencakup banyak pengajaran juga bagi Umat beriman
[34]
. Sebab dalam liturgi Allah bersabda kepada Umat-Nya; Kristus masih
mewartakan Injil. Sedangkan Umat menanggapi Allah dengan
nyanyian-nyanyian dan doa.
Bahkan bila imam, yang selaku wakil
Kristus memimpin jemaat, memanjatkan doa-doa kepada Allah, doa-doa itu
diucapkan atas nama segenap Umat suci dan semua orang yang hadir. Adapun
lambang-lambang lahir, yang digunakan dalam liturgi suci untuk
menandakan hal-hal ilahi yang tidak nampak, dipilih oleh Kristus atau
Gereja. Oleh karena itu bukan hanya bila dibacakan “apa yang telah
ditulis untuk menjadi pelajaran bagi kita” (Rom 15:4), melainkan juga
sementara Gereja berdoa atau bernyanyi atau melakukan sesuatu,
dipupuklah iman para peserta, dan hati mereka diangkat kepada Allah,
untuk mempersembahkan penghormatan yang wajar kepada-Nya, dan menerima
rahmat-Nya secara lebih melimpah.
Maka dari iru dalam mengadakan pembaharuan kaidah-kaidah umum berikut harus dipatuhi.
34. (Keserasian upacara-upacara)
Hendaklah upacara-upacara bersifat sederhana namun luhur, singkat,
jelas, tanpa pengulangan-pengulangan yang tiada gunanya. Hendaknya
disesuaikan dengan daya tangkap Umat beriman, dan pada umumnya jangan
sampai memerlukan banyak penjelasan.
35. (Kitab suci, pewartaan dan katekese dalam liturgi)
Supaya nampak dengan jelas bahwa dalam liturgi upacara dan sabda berhubungan erat, maka :
(1) Dalam peryaan-perayaan suci hendaknya dimasukkan bacaan Kitab suci yang lebih banyak, lebih bervariasi dan lebih sesuai.
(2)
Dalam rubrik-rubrik hendaknya dicatat juga, sejauh tata upacara
mengizinkan, saat yang lebih tepat untuk kotbah, sebagai bagian perayaan
liturgi. Dan pelayanan pewartaan hendaknya dilaksanakan dengan amat
tekun dan saksama. Bahannya terutama hendaklah bersumber pada Kitab suci
dan liturgi, sebab kotbah merupakan pewartaan keajaiban-keajaiban Allah
dalam sejarah keselamatan atau misteri Kristus, yang selalu hadir dan
berkarya di tengah kita, teristimewa dalam perayaan-perayaan liturgi.
(3)
Dengan segala cara hendaknya diusahakan pula katekese yang secara lebih
langsung bersifat liturgis; dan dalam upacar-upacara sendiri bila
perlu, hendaklah disampaikan ajakan-ajakan singkat oleh imam atau
pelayan (petugas) yang berwenang. Tetapi ajakan-ajakan itu hendaknya
hanya disampaikan pada saat-saat yang cocok, menurut teks yang sudah
ditentukan atau dengan kata-kata yang senada.
(4) Hendaknya
dikembangkan peryaan Sabda Allah pada malam menjelang harihari raya
agung, pada beberapa hari biasa dalam masa Adven dan Prapaska, begitu
pula pada hari-hari minggu dan hari-hari raya, terutama di tempat-tempat
yang tiada imamnya. Dalam hal itu perayaan hendaknya dipimpin oleh
diakon atau orang lain yang diberi wewenang oleh Uskup.
36. (Bahasa Liturgi)
(1) Penggunaan bahasa latin hendaknya dipertahankan dalam ritus-ritus
lain, meskipun ketentuan-ketentuan hukum khusus tetap berlaku.
(2)
Akan tetapi dalam Misa, dalam pelayanan Sakramen-sakramen maupun
bagian-bagian liturgi lainnya, tidak jarang penggunaan bahasa pribumi
dapat sangat bermanfaat bagi Umat. Maka seyogyanyalah diberi kelonggaran
yang lebih luas, terutama dalam bacaan-bacaan dan ajakan-ajakan, dan
berbagai doa dan nyanyian, menurut kaidah-kaidah yang mengenai hal itu
ditetapkan secara tersendiri dalam bab-bab berikut.
(3) Sambil
mematuhi kaidah-kaidah itu, pimpinan gerejawi setempat yang berwenang,
seperti disebut pada artikel 22: (2), menetapkan apakah dan bagaimanakah
bahasa pribumi digunakan, bila perlu hendaknya ada konsultasi dengan
para Uskup tetangga dikawasan yang menggunakan bahasa yang sama.
Ketetapan itu memerlukan persetujuan atau pengesahan dari Takhta
Apostolik.
(4) Terjemahan teks latin kedalam bahasa pribumi, yang
hendak digunakan dalam liturgi, harus disetujui oleh pimpinan gerejawi
setempat yang berwenang, seperti tersebut di atas.
D. Kaidah-kaidah untuk menyesuaikan liturgi dengan tabiat perangai dan tradisi bangsa-bangsa
37.
Dalam hal-hal yang tidak menyangkut iman atau kesejahteraan segenap
jemaat, Gereja dalam liturgi pun tidak ingin mengharuskan suatu
keseragaman yang kaku. Sebaliknya Gereja memelihara dan memajukan
kekayaan yang menghiasi jiwa pelbagai suku dan bangsa. Apa saja dalam
adat kebiasaan para bangsa, yang tidak secara mutlak terikat pada
takhayul atau ajaran sesat, oleh Gereja dipertimbangkan dengan murah
hati, dan bila mungkin dipeliharanya dengan hakikat semangat liturgi
yang sejati dan asli.
38.
Asal saja kesatuan hakiki ritus Romawi dipertahankan, hendaknya
diberi ruang kepada kemajemukan bentuk dan penyesuaian yang wajar dengan
pelbagai kelompok, daerah, dan bangsa, terutama di daerah-daerah Misi,
juga bila buku-buku liturgi ditinjau kembali. Hal itu hendaklah
diperhatikan dengan baik dalam penyusunan upacara-upacara dan penataan
rubrik-rubrik.
39.
Dalam batas-batas yang telah ditetapkan oleh terbitan otentik
buku-buku liturgi, pimpinan Gereja setempat yang berwenang, seperti
disebut dalam art. 22, (2), berhak untuk memerinci
penyesuaian-penyesuaian, terutama mengenai pelayanan Sakramen-sakramen,
sakramentali, perarakan, bahasa liturgi, musik Gereja dan kesenian, asal
saja sesuai dengan kaidah-kaidah dasar yang terdapat dalam konsultasi
ini.
40.
Tetapi di pelbagai tempat dan situasi, mendesaklah penyesuaian
liturgi secara lebih mendalam; karena itu juga menjadi lebih sukar. Maka
:
(1) Hendaknya pimpinan gerejawi setempat yang berwenang, seperti
dalam art. 22, (2), dengan tekun dan bijaksana mempertimbangkan,
unsur-unsur manakah dari tradisi-tradisi dan ciri khas masing-masing
bangsa yang dalam hal itu sebaiknya ditampung dalam ibadat ilahi.
Penyesuaianpenyesuaian, yang dipandang berfaedah atau memang perlu,
hendaklah diajukan kepada Takhta Apostolik, supaya atas persetujuannya
dimasukkan dalam liturgi.
(2) Tetapi supaya penyesuaian dijalankan
dengan kewaspadaan seperlunya, maka Takhta Apostolik akan memberi
wewenang kepada pimpinan gerejawi setempat, untuk – bila perlu – dalam
beberapa kelompok yang cocok untuk itu dan selama waktu yang terbatas
mengizinkan dan memimpin eksperimen-eksperimen pendahuluan yang
diperlukan.
(3) Ketetapan-ketetapan tentang liturgi biasanya
menimbulkan kesulitankesulitan khas mengenai penyesuaian, terutama di
daerah-daerah Misi. Maka dalam menyusun ketetapan-ketetapan ini
hendaknya tersedia ahliahli untuk bidang yang bersangkutan.
IV. PEMBINAAN KEHIDUPAN LITURGI DALAM KEUSKUPAN DAN PAROKI.
41. (Kehidupan Liturgi dalam keuskupan)
Uskup harus dipandang sebagai imam agung kawanannya. Kehidupan
Umatnya yang beriman dalam Kristus bersumber dan tergantung dengan cara
tertentu dari padanya.
Maka dari itu semua orang harus menaruh
penghargaan amat besar terhadap kehidupan liturgi keuskupan di sekitar
Uskup, terutama di gereja katedral. Hendaknya mereka yakin, bahwa
penampilan Gereja yang istimewa terdapat dalam keikutsertaan penuh dan
aktif seluruh Umat kudus Allah dalam perayaan liturgi yang sama,
terutama dalam satu Ekaristi, dalam satu doa, pada satu altar, dipimpin
oleh Uskup yang dikelilingi oleh para imam serta para pelayan lainnya
[35] .
42. (Kehidupan Liturgi dalam Paroki)
Dalam Gerejanya Uskup tidak dapat selalu atau dimana-mana memimpin
sendiri segenap kawanannya. Maka haruslah ia membentuk kelompok-kelompok
orang beriman, diantaranya yang terpenting yakni paroki-paroki, yang di
setiap tempat dikelola di bawah seorang pastor yang mewakili Uskup.
Sebab dalam arti tertentu paroki menghadirkan Gereja semesta yang
kelihatan.
Maka dari itu hendaknya kehidupan liturgi paroki serta
hubungannya dengan Uskup dipupuk dalam hati dan praktik jemaat beriman
serta para rohaniwan. Hendaknya diusahakan, supaya jiwa persekutuan
dalam paroki berkembang, terutama dalam perayaan Misa Umat pada hari
Minggu.
V. PENGEMBANGAN PASTORAL LITURGI
43. (Pembaharuan Liturgi, rahmat Roh Kudus)
Usaha mengembangkan dan membaharui liturgi suci memang tepat
dipandang sebagai tanda penyelenggaraan Allah atas zaman kita, sebagai
gerakan Roh Kudus dalam Gerejanya. Dan usaha itu menandai kehidupan
Gereja-Nya. Dan usaha itu menandai kehidupan Gereja, bahkan seluruh cara
berpandangan dan bertindak religius zaman kita ini dengan ciri yang
khas. Maka untuk makin mengembangkan kegiatan pastoral liturgis dalam
Gereja, Konsili suci memutuskan:
44. (Komisi Liturgi nasional)
Sebaiknya pemimpin gerejawi setempat yang berwenang, seperti disebut
dalam art. 22, (2), mendirikan Komisi Liturgi, yang harus didampingi
oleh orang-orang ahli dalam ilmu liturgi, musik serta kesenian liturgi,
dan di bidang pastoral. Komisi itu sedapat mungkin hendaknya dibantu
oleh suatu Lembaga Liturgi Pastoral, yang terdiri dari anggota-anggota
yang mahir di bidang itu, bila perlu juga awam.
Di bawah ini
bimbingan pimpinan gerejawi setempat, seperti tersebut di atas, komisi
itu bertugas membina kegiatan pastoral liturgis dalam kawasannya, dan
memajukan studi serta eksperimen-eksperimen yang perlu, kapan saja ada
penyesuaian-penyesuaian yang perlu diajukan kepada Takhta Apostolik.
45. (Komisi Liturgi Keuskupan)
Begitu pula di setiap keuskupan hendaknya ada Komisi Liturgi untuk memajukan kegiatan liturgis di bawah bimbingan Uskup.
Ada
kalanya dapat berguna, bila berbagai keuskupan mendirikan satu komisi,
untuk mengembangkan liturgi melalui musyawarah bersama.
46. (Komisi-komisi lain)
Selain Komisi Liturgi, hendaknya di setiap keuskupan sedapat mungkin didirikan Komisi Musik Liturgi dan Komisi Kesenian Liturgi.
Penting
sekali bahwa ketiga Komisi itu bekerja sama secara terpadu; bahkan
tidak jarang akan lebih cocok bahwa ketiganya berpadu menjadi satu
komisi.
BAB DUA – MISTERI EKARISTI SUCI
47. (Ekaristi suci dan misteri Paska)
Pada perjamuan terakhir, pada malam ia diserahkan, Penyelamat kita
mengadakan Kurban Ekaristi Tubuh dan Darah-Nya. Dengan demikian Ia
mengabdikan Kurban Salib untuk selamanya, dan mempercayakan kepada
Gereja Mempelai-Nya yang terkasih kenangan Wafat dan Kebangkitan-nya:
sakramen cintakasih, lambang kesatuan, ikatan cintakasih
[36]
, perjamuan Paskah. Dalam perjamuan itu Kristus disambut, jiwa dipenuhi
rahmat, dan kita dikurniai jaminan kemuliaan yang akan datang
[37] .
48. (Keikut-sertaan aktif kaum beriman)
Maka dari itu Gereja dengan susah payah berusaha, jangan sampai Umat
beriman menghadiri misteri iman itu sebagai orang luar atau penonton
yang bisu, melainkan supaya melalui upacara dan doa-doa memahami misteri
itu dengan baik, dan ikut-serta penuh khidmat dan secara aktif.
Hendaknya mereka rela diajar oleh sabda Allah, disegarkan oleh santapan
Tubuh Tuhan, bersyukur kepada Allah. Hendaknya sambil mempersembahkan
Hosti yang tak bernoda bukan saja melalui tangan imam melainkan juga
bersama dengannya, mereka belajar mempersembahkan diri, dari hari ke
hari – berkat perantaraan Kristus
[38] – makin penuh dipersatukan dengan Allah dan antar mereka sendiri, sehingga akhirnya Allah menjadi segalanya dalam semua.
49.
Maka dari itu, dengan memperhatikan perayaan Ekaristi yang dihadiri
Umat, terutama pada hari Minggu dan hari-hari raya wajib, konsili suci
menetapkan hal-hal berikut, supaya kurban Misa, pun juga bentuk
upacara-upacaranya, mencapai hasil guna pastoral yang sepenuhnya.
50. (Peninjauan kembali Tata perayaan Ekaristi)
Tata perayaan Ekaristi hendaknya ditinjau kembali sedemikian rupa,
sehingga lebih jelaslah makna masing-masing bagiannya serta hubungannnya
satu dengan yang lain. Dengan demikian Umat beriman akan lebih mudah
ikut-serta dengan khidmat dan aktif.
Maka dari itu hendaknya
upacara-upacara disederhanakan, dengan tetap mempertahankan hal-hal yang
pokok. Hendaknya dihilangkan saja semua pengulangan dan tambahan yang
kurang berguna, yang muncul dalam perjalanan sejarah. Sedangkan beberapa
hal, yang telah memudar karena dikikis waktu, hendaknya dihidupkan lagi
selaras dengan kaidah-kaidah semasa para Bapa Gereja, bila itu
nampaknya memang berguna atau perlu.
51. (Supaya Ekaristi diperkaya dengan sabda Kitab suci)
Agar santapan sabda Allah dihidangkan secara lebih melimpah kepada
umat beriman, hendaklah khazanah harta Alkitab dibuka lebih lebar,
sehingga dalam kurun waktu beberapa tahun bagian-bagian penting Kitab
suci dibacakan kepada Umat.
52. (Homili)
Homili sebagai bagian liturgi sendiri sangat dianjurkan. Di situ
hendaknya sepanjang tahun liturgi diuraikan mister-misteri iman dan
kaidah-kaidah hidup kristiani berdasarkan teks Kitab suci. Oleh karena
itu dalam Misa hari Minggu dan hari raya wajib yang dihadiri Umat homili
jangan ditiadakan, kecuali bila ada alasan yang berat.
53. (Doa Umat)
Hendaknya sesudah Injil dan homili, terutama pada hari Minggu dan
hari raya wajib, diadakan lagi Doa Umat atau Doa kaum beriman, supaya
bersama dengan Umat dipanjatkanlah doa-doa permohonan bagi Gereja kudus,
bagi para pejabat pemerintah, bagi mereka yang sedang tertekan oleh
pelbagai kebutuhan, dan bagi semua orang serta keselamatan seluruh dunia
[39] .
54. (Bahasa Latin dan bahasa pribumi dalam perayaan Ekaristi)
Sesuai dengan artikel 36 konstitusi ini, dalam Misa suci yang
dirayakan bersama Umat bahasa pribumi dapat diberi tempat yang
sewajarnya, terutama dalam bacaan-bacaan dan doa Umat, dan – sesuai
dengan situasi setempat – juga dalam bagian-bagian yang menyangkut Umat.
Tetapi
hendaknya diusahakan, supaya kaum beriman dapat bersama-sama
mengucapkan atau menyayikan dalam bahasa latin juga bagian-bagian Misa
yang tetap yang menyangkut mereka.
Namun bila pemakaian bahasa
pribumi yang lebih luas dalam Misa nampaknya cocok, hendaknya ditepati
peraturan art. 40 Konstitusi ini.
55. (Komuni suci, puncak keikut-sertaan dalam Misa suci; Komuni dua rupa)
Dianjurkan dengan sangat partisipasi Umat yang lebih sempurna dalam
Misa, dengan menerima Tubuh Tuhan dari Kurban itu juga sesudah imam
menyambut Komuni.
Atas kebijaksanaan para Uskup, Komuni dua rupa
dapat diizinkan baik bagi kaum rohaniwan dan relegius, maupun bagi kaum
awam, dalam hal-hal yang perlu ditentukan oleh Takhta suci, misalnya
bagi para tahbisan baru dalam Misa pentahbisan mereka, bagi para
prasetyawan dalm Misa pengikraran kaul-kaul relegius, bagi para baptisan
baru dalam Misa sesudah pembaptisan. Dalam hal itu prinsip-prinsip
dokmatis Konsili Trente
[40] hendaknya tetap dipertahankan.
56. (Kesatuan Misa)
Misa suci dapat dikatakan terdiri dari dua bagian, yakni liturgi
sabda dan liturgi Ekaristi. Keduanya begitu erat berhubungan, sehingga
merupakan satu tindakan ibadat. Maka Konsili suci dengan sangat mengajak
para gembala jiwa, supaya mereka dalam menyelenggarakan katekese dengan
tekun mengajarkan agar Umat beriman menghadiri seluruh Misa, terutama
pada hari Minggu dan hari raya wajib.
57. (Konselebrasi)
1. Konselebrasi sungguh cocok untuk menampakkan kesatuan imamat.
Hingga sekarang konselebrasi tetap masih dijalankan dalam Gereja Timur
maupun Barat.
Maka Konsili berkenan memperluas izin untuk berkonselebrasi sehingga meliputi kesempatan-kesempatan berikut:
1) a). pada hari Kamis Putih, baik dalam Misa Krisma maupun dalam Misa sore Perjamuan Tuhan;
b). pada Misa suci selama Konsili, sidang Konferensi Uskup dan sidang Sinode;
c). pada Misa suci pelantikan seorang Abas.
2) Selain itu, seizin Uskup setempat, yang berwenang menilai baik tidaknya mengadakan konselebrasi:
a) pada Misa komunitas biara dan pada Misa utama dalam gereja-gereja, bila demi kepentingan Umat
beriman tidak diinginkan, bahwa semua imam yang hadir mempersembahkan Misa sendiri-sendiri;
b) pada Misa dalam pertemuan manapun juga, yang dihadiri para imam diosesan maupun religius;
2. 1). Adalah wewenang Uskup untuk mengatur tata cara konselebrasi di keuskupannya.
2). Namun hendaknya setiap imam tetap diperbolehkan mengorbankan Misa sendiri, asal jangan pada saat
yang bersamaan dalam gereja yang sama; juga asal jangan pada hari Kamis Putih Perjamuan Tuhan.
58.
Hendaknya disusun upacara konselebrasi yang baru, dan disisipkan dalam buku Pontificale dan dalam buku Missale Romanum.
BAB TIGA – SAKRAMEN-SAKRAMEN LAINNYA DAN SAKRAMENTALI
59. (Hakikat Sakramen)
Sakramen-sakramen dimaksudkan untuk menguduskan manusia, membangun
Tubuh Kristus, dan akhirnya mempersembahkan ibadat kepada Allah. Tetapi
sebagai tanda sakramen juga dimaksudkan untuk mendidik. Sakramen tidak
hanya mengandaikan iman, melainkan juga memupuk, meneguhkan dan
mengungkapkannya dengan kata-kata dan benda. Maka juga disebut sakramen
iman. Memang sakramen memperolehkan rahmat, tetapi perayaan sakramen itu
sendiri juga dengan amat baik menyiapkan kaum beriman untuk menerima
rahmat itu yang membuahkan hasil nyata, untuk menyembah Allah secara
benar, dan untuk mengamalkan cinta kasih.
Maka dari itu sangat
pentinglah bahwa Umat beriman dengan mudah memahami lambang-lambang
Sakramen, dan dengan sepenuh hati sering menerima Sakramen-sakramen,
yang diadakan untuk memupuk hidup kristiani.
60. (Sakramentali)
Selain itu Bunda Gereja kudus telah mengadakan sakramentali, yakni
tanda-tanda suci, yang memiliki kemiripan dengan Sakramen-sakramen.
Sakramentali itu menandakan kurnia-kurnia, terutama yang bersifat
rohani, dan yang diperoleh berkat doa permohonan Gereja. Melalui
sakramentali itu hati manusia disiapkan untuk menerima buah utama
Sakramen-sakramen dan pelbagai situasi hidup disucikan.
61. (Nilai pastoral liturgi; hubungannya dengan misteri Paska)
Dengan demikian berkat liturgi Sakramen-sakramen dan sakramentali
bagi kaum beriman yang hatinya sungguh siap hampir setiap peristiwa
hidup dikuduskan dengan rahmat ilahi yang mengalir dari misteri Paska
Sengsara, Wafat dan Kebangkitan Kristus. Dari misteri itulah semua
Sakramen dan sakramentali menerima daya kekuatannya. Dan bila manusia
menggunakan benda-benda dengan pantas, boleh dikatakan tidak ada satupun
yang tak dapat dimanfaatkan untuk menguduskan manusia dan memuliakan
Allah.
62. (Perlunya meninjau kembali upacara Sakramen-sakramen)
Akan tetapi dalam perjalanan sejarah ada beberapa hal yang menyusupi
upacara Sakramen-sakramen dan sakramentali, sehingga hakikat serta
tujuannya menjadi kurang jelas bagi kita sekarang. Oleh karena itu
perlulah beberapa hal dalam upacara itu disesuaikan dengan kebutuhan
zaman kita. Maka Konsili suci menetapkan pokok-pokok pembaharuan
berikut.
63. (Bahasa; Rituale Romawi dan rituale khusus)
Dalam pelayanan Sakramen-sakramen dan sakramentali tidak jarang
pemakaian bahasa pribumi dapat sangat berguna bagi Umat. Maka hendaknya
bahasa pribumi digunakan secara lebih luas menurut kaidah-kaidah
berikut:
Dalam pelayanan Sakramen-sakramen dan sakramentali dapat
digunakan bahasa pribumi menurut kaidah art. 36. menurut terbitan baru
Rituale Romawi hendaknya oleh pimpinan Gereja setempat yang berwenang
menurut art. 22 (2) Konstitusi ini selekas mungkin disiapkan
rituale-rituale khusus yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah
juga mengenai bahasanya. Dan hendaknya rituale-rituale itu digunakan di
daerah-daerah yang bersangkutan, setelah mendapat persetujuan Takhta
Apostolik. Tetapi dalam menyusun rituale atau kumpulan khas
upacara-upacara itu janganlah diabaikan petunjuk-petunjuk yang tercantum
dalam Rituale Romawi untuk setiap upacara, entah yang bersifat pastoral
dan berupa rubrik, entah yang mempunyai makna sosial istimewa.
64. (Katekumenat)
Katekumenat bertahap untuk orang dewasa hendaklah dihidupkan lagi dan
dilaksanakan menurut kebijaksanaan Uskup setempat. Dengan demikian masa
katekumenat, yang dimaksudkan untuk pembi naan yang memadai, dapat
disucikan dengan merayakan upacara-upacara suci secara berturut-turut.
65.
Selain apa yang terdapat dalam tradisi kristiani, di daerah-daerah
Misi boleh dimasukkan juga unsur-unsur inisiasi yang terdapat sebagai
kebiasaan masingmasing bangsa, sejauh itu dapat disesuaikan dengan
upacara kristiani, menurut kaidah art. 37 – 40 Konstitusi ini.
66. (Peninjauan kembali upacara baptis)
Kedua bentuk upacara pembaptisan orang dewasa, maupun – dengan
memperhatikan katekumenat yang diperbaharui – yang meriah, hendaknya
ditinjau kembali. Selain itu kedalam Misal Romawi hendaknya dimasukkan
Misa khusus: Pada upacara pembaptisan.
67.
Upacara pembaptisan kanak-kanak hendaknya ditinjau kembali dan
disesuaikan dengan kenyataan bahwa yang dibaptis itu masih bayi. Dalam
upacara itu hendaknya menjadi lebih jelas peran orang tua dan orangtua
baptis beserta tugas-tugas mereka.
68.
Hendaknya dalam upacara Baptis diadakan penyesuaian-penyesuaian
menurut kebijaksanaan Uskup setempat, bila banyak orang meminta
dibaptis. Begitu pula hendaknya disusun Tata upacara yang lebih ringkas,
yang terutama di daerah-daerah Misi dapat dipakai oleh para katekis,
dan pada umumnya juga dalam bahaya maut oleh kaum beriman, bila tiada
imam atau diakon.
69.
Untuk menggantikan apa yang disebut Tata laksana untuk melengkapi apa
yang dilewati dalam pembaptisan kanak-kanak hendaknya disusun upacara
baru, supaya secara lebih jelas dan memadai dinyatakan bahwa kanak-kanak
yang telah dibaptis dengan rumus singkat sudah diterima kedalam Gereja.
Begitu
pula hendaknya disusun upacara baru untuk mereka yang sudah dibaptis
secara sah, lalu hendak berpindah masuk Gereja katolik yang kudus, untuk
menyatakan, bahwa mereka diterima kedalam persekutuan Gereja.
70.
Di luar masa Paska air baptis dapat diberkati dalam upacara Baptis sendiri dengan rumus lebih singkat yang sudah disahkan.
71. (Peninjauan kembali upacara sakramen Krisma)
Upacara Krisma hendaknya ditinjau kembali juga supaya lebih nampak
jelas hubungan erat Sakramen itu dengan seluruh inisiasi kristiani. Maka
dari itu pembaharuan janji-janji Baptis seyogyanya mendahului
penerimaan Sakramen Krisma.
Bila ada kesempatan baik, penerimaan
Krisma dapat diselenggarakan dalam Misa suci. Sedangkan mengenai upacara
di luar Misa, hendaknya disediakan upacara pendahuluan.
72. (Penijauan kembali upacara Tobat)
Upacara dan rumus untuk Sakramen Tobat hendaknya ditinjau kembali
sedemikian rupa, sehingga hakikat dan buah Sakramen terungkap secara
lebih jelas.
73. (Peninjauan kembali upacara Pengurapan Orang Sakit)
“Pengurapan terakhir”, atau lebih tepat lagi disebut “Pengurapan
Orang Sakit”, bukanlah Sakramen bagi mereka yang berada diambang
kematian saja. Maka saat yang baik untuk menerimanya pasti sudah tiba,
bila orang beriman mulai ada dalam bahaya maut karena menderita sakit
atau sudah lanjut usia.
74.
Selain upacara Pengurapan Orang Sakit dan upacara Komuni bekal suci
secara terpisah, hendaknya disusun Tata upacara berkesinambungan, yang
mencantumkan penerimaan Pengurapan Orang Sakit sesudah Sakramen Tobat
dan sebelum Komuni bekal suci.
75.
Jumlah pengurapan hendaknya disesuaikan dengan keadaan si penderita,
dan doa-doa yang termasuk upacara Pengurapan Orang Sakit hendaknya
ditinjau kembali sedemikian rupa, sehingga cocok dengan pe lbagai
keadaan para penderita yang menerima Sakramen.
76. (Peninjauan kembali Sakramen Tahbisan)
Upacara Tahbisan hendaknya ditinjau kembali baik tata-laksananya
maupun naskahnya. Amanat Uskup, pada awal Tahbisan imam atau Tahbisan
Uskup, dapat disampaikan dalam bahasa pribumi. Dalam Tahbisan Uskup
penumpangan tangan boleh dilakukan oleh semua Uskup yang hadir.
77. (Peninjauan kembali Sakramen Perkawinan)
Upacara perayaan Perkawinan, yang terdapat dalam Rituale Romawi,
hendaknya ditinjau kembali dan diperkaya, sehingga lebih jelas
dilambangkan rahmat Sakramen serta tugas-tugas suami – istri.
“Konsil
suci sangat mengharapkan, supaya – sekiranya ada wilayah-wilayah yang
dalam merayakan Sakramen Perkawinan mempunyai adat-kebiasaan atau
upacara-upacara lain yang layak dipuji, – itu dipertahankan sepenuhnya”
[41] .
Kecuali
itu pimpinan gerejawi setempat, seperti disebut dalam art. 22, (2)
Konstitusi ini, berwenang menyusun upacara khusus yang sesuai dengan
adat kebiasaan daerah-daerah serta bangsa-bangsa, menurut kaidah art.
63, dengan tetap mempertahankan hukum, bahwa iman yang menjadi saksi
menanyakan dan menerima persetujuan mereka yang menikah.
78.
Pada umumnya upacara perkawinan hendaknya dilangsungkan dalam Misa
suci, sesudah pembacaan Injil dan Homili, sebelum Doa Umat. Doa atas
mempelai wanita hendaknya, dipugar dengan baik, sehingga mencantumkan
dengan jelas bahwa kedua mempelai sama-sama mempunyai kewajiban untuk
saling setia. Doa itu dapat diucapkan dalam bahasa pribumi.
Tetapi
bila Sakramen Perkawinan dirayakan tanpa Misa, hendaknya pada awal
upacara dibacakan Epistola dan Injil Misa untuk mempelai, dan berkat
mempelai hendaknya selalu diberikan.
79. (Peninjauan kembali sakramentali)
Hendaknya sakramentali ditinjau kembali mengan mengindahkan
kaidah-kaidah dasar tentang keikut-sertaan kaum beriman secara sadar dan
aktif dan dengan mudah, dan dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan
zaman kita. Dalam meninjau kembali buku-buku Kumpulan Upacara (rituale) menurut kaidah art. 63, dapat ditambahkan juga sakramentali baru sejauh diperlukan.
Pemberkatan-pemberkatan
dengan kuasa khusus hendaknya sesedikit mungkin, dan hanya diperuntukan
bagi para Uskup dan pimpinan gerejawi.
Hendaknya diusahakan agar
beberapa sakramentali dapat dilayani oleh para awam yang pantas untuk
tugas itu, sekurang-kurangnya dalam keadaan-keadaan istimewa dan sesuai
dengan kebijakan Uskup.
80. (Pengikraran kaul relegius)
Upacara Prasetya para Perawan, yang terdapat dalam Pontifikale Romawi, hendaknya ditinjau kembali.
Selain
itu hendaknya disusun upacara pengikraran kaul relegius dan pembaharuan
kaul-kaul, meningkatkan keutuhan, kesederhanaan dan keluhuran upacara.
Upacara itu hendaknya dilaksanakan oleh mereka, yang mengikrarkan atau
membaharui kaul-kaul dalam Misa. Hukum khas tetap dipertahankan.
Sangat dianjurkan supaya pengikraran kaul relegius dilaksanakan dalam Misa.
81. (Peninjauan kembali upacara pemakaman)
Upacara pemakaman hendaknya mengungkapkan dengan lebih jelas ciri
Paska kematian Kristiani, dan hendaknya lebih disesuiakan dengan situasi
dan adat-istiadat masing-masing daerah, termasuk mengenai warna
liturginya.
82.
Hendaknya upacara penguburan anak-anak ditinjau kembali, dan disusun rumus Misa yang khusus.
BAB EMPAT – IBADAT HARIAN
83. (Ibadat harian, karya Kristus dan Gereja)
Dengan mengenakan kodrat manusiawi, Kristus Yesus, Imam Agung
Perjanjian Baru dan kekal, telah memasukkan ke dalam pengasingan di
dunia ini madah, yang di sepanjang segala abad dinyayikan di bangsal
surgawi. Ia menghimpun seluruh umat manusia di sekeliling-Nya, dan
mengikutsertakannya melambungkan kidung pujian ilahi-Nya.
Sebab Ia
melestarikan tugas imamat-Nya itu melalui Gereja-nya. Gereja tiada
putusnya memuji Tuhan dan memohonkan keselamatan seluruh dunia bukan
hanya dengan merayakan Ekaristi, melainkan dengan cara-cara lain juga,
terutama dengan mendoakan Ibadat Harian.
84.
Berdasarkan Tradisi kristiani yang kuno Ibadat Harian disusun
sedemikian rupa, sehingga seluruh kurun hari dan malam disucikan dengan
pujian kepada Allah. Adapun bila nyayian pujian yang mengagumkan itu
dilaksanakan dengan baik oleh para imam dan orang-orang lain, yang atas
ketetapan Gereja ditugaskan untuk maksud itu, atau oleh Umat beriman,
sambil berdoa bersama dengan Imam memakai bentuk yang telah disahkan,
pada saat itu sungguh merupakan suara Sang Mempelai sendiri, yang
berwawancara dengan Mempelai Pria, bahkan juga doa Kristus beserta
Tubuh-Nya kepada Bapa.
85.
Maka dari itu semua orang yang mendoakan Ibadat Harian, menunaikan
tugas Gereja, maupun ikut serta dalam kehormatan tertinggi Mempelai
Kristus. Sebab seraya melambungkan pujian kepada Allah mereka berdiri di
hadapan takhta atas nama Bunda Gereja.
86. (Nilai pastoral Ibadat Harian)
Para imam yang mengemban pelayanan pastoral yang suci, akan mendoakan
Ibadat Harian dengan makin bersemangat, semakin mereka sadari secara
mendalam bahwa mereka harus mematuhi nasehat Paulus: “Berdoalah tiada
hentinya” (1Tes 5:17). Sebab hanya Tuhanlah yang dapat mengurniakan
hasil guna dan pertumbuhan kepada karya yang mereka laksanakan, menurut
sabda-Nya: “Tanpa Aku kamu tidak berbuat apa-apa” (Yoh 15:5). Maka
ketika mengangkat para diakon, para Rasul berkata: “Kamu sendiri akan
memusatkan pikiran pada pelayanan sabda” (Kis 6:4).
87.
Tetapi supaya dalam kenyataan sekarang ini Ibadat Harian didoakan
dengan lebih baik dan lebih sempurna oleh para imam maupun para anggota
Gereja lainnya, konsili suci – seraya melanjutkan pembaharuan yang telah
dirintis dengan baik oleh Takhta suci – berkenan menetapkan hal-hal
berikut tentang Ibadat Harian menurut Ritus Romawi.
88. (Peninjauan kembali pembagian waktu Ibadat menurut Tradisi)
Tujuan Ibadat Harian yakni pengudusan seluruh hati. Maka pembagian
waktu ibadat yang kita waris hendaknya ditata kembali sedemikian rupa,
sehingga ibadat-ibadat sedapat mungkin dilaksanakan pada saat yang
tepat, sekaligus juga diperhitungkan situasi hidup zaman sekarang,
terutama bagi mereka yang bertekun menjalankan karya-karya kerasulan.
89.
Maka penataan kembali Ibadat harian hendaknya dilaksanakan menurut kaidah-kaidah berikut:
a) menurut tradisi mulia Gereja semesta, Laudes atau Ibadat Pagi dan Vesper atau Ibadat Sore harus dipandang dan dirayakan sebagai poros rangkap Ibadat Harian, sebagai dua Ibadat yang utama;
b) Ibadat penutup (Kompletorium) hendaknya disusun sedemikian rupa, sehingga sungguh cocok dengan akhir hari;
c)
Yang disebut Matutinium, meskipun bila didaras dalam koor tetap
memiliki ciri pujian malam, hendaklah disesuaikan sedemikian
rupa,sehingga dapat didoakan setiap saat pada siang hari; dan jumlah
mazmurnya hendaknya jangan terlalu banyak, sedangkan bacaan-bacaannya
hendaknya lebih panjang;
d) Ibadat Prima hendaklah ditiadakan;
e)
Dalam koor ibadat-ibadat singkat, yakni Tertia, Sexta dan Nona,
hendaklah dipertahankan. Dalam pendarasan di luar koor boleh dipilih
salah satu dari ketiganya, yakni yang cocok dengan saat hari yang
bersangkutan.
90. (Ibadat Harian sumber kesalehan)
Kecuali itu sebagai doa resmi Gereja Ibadat Harian menjadi sumber
kesalehan dan membekali doa pribadi. Oleh karena itu para imam dan semua
orang lain yang ikut mendaras Ibadat Harian diminta dalam Tuhan supaya
dalam melaksanakannya hati mereka berpadu dengan apa uang mereka
ucapkan. Supaya itu tercapai dengan lebih baik , hendaknya mereka
mengusahakan pembinaan yang lebih mendalam tentang liturgi dan Kitab
suci, terutama mazmur-mazmur.
Adapun dalam melaksanakan pembaharuan
hendaknya perbendaharaan Ibadat Romawi yang terpuji dan abadi itu
disesuaikan sedemikian rupa, sehingga siapa saja yang mewarisinya dapat
menikmatinya secara lebih leluasa dan lebih mudah.
91. (Pembagian mazmur-mazmur)
Supaya pembagian waktu Ibadat Harian, seperti telah diutarakan dalam
art. 89, sungguh dapat ditepati, hendaknya mazmur-mazmur jangan lagi
dibagi-bagikan dalam lingkaran satu pekan, melainkan dalam kurun waktu
yang lebih lama.
Karya peninjauan kembali lingkaran mazmur, yang
sudah dirintis dengan begitu baik, hendaknya disesuaikan selekas
mungkin. Hendaklah diperhatikan gaya bahasa Latin Kristiani, pemakiannya
dalam liturgi, juga dalam nyayian, dan seluruh tradisi Gereja Latin.
92. (Penyusunan bacaan-bacaan)
Mengenai bacaan-bacaan hendaklah dijalankan hal-hal berikut:
a)
Bacaan-bacaan Kitab suci hendaknya disusun sedemikian rupa, sehingga
harta kekayaan sabda ilahi dengan mudah tersedia dalam kelimpahannya
yang lebih penuh;
b) Bacaan-bacaan dari karya para Bapa dan para
Pujangga Gereja serta dari Pengarang gerejawi hendaknya dipilih dengan
lebih baik;
c) Kisah para Martir atau riwayat para Kudus hendaknya disesuaikan dengan kebenaran sejarah.
93. (Peninjauan kembali madah-madah)
Bila dirasa berguna, hendaknya madah-madah dikembalikan kepada
bentuknya yang asli, dengan meniadakan atau mengubah apa yang berbau
mitologi atau kurang selaras dengan kesalehan kristiani. Bila dipandang
sesuai, hendaknya ditampung juga madah-madah yang terdapat dalam
perbendaharaan madah.
94. (Saat mendoakan Ibadat Harian)
Supaya seluruh hari sungguh disucikan, dan Ibadat Harian didaras
dengan penuh buah rohani, lebih baiklah bahwa untuk menunaikan iba
dat-ibadat diambil saat, yang paling dekat dengan yang sesungguhnya bagi
setiap ibadat kanonik.
95. (Kewajiban mendoakan Ibadat Harian)
Komunitas-komunitas yang terikat kewajiban doa koor, disamping
mengadakan Misa komunitas, setiap hari wajib merayakan Ibadat Harian
dalam koor. Khususnya:
a) Dewan Pembantu Uskup, para rahib dan
rubiah, serta para imam biarawan lainya, yang terikat pada Ibadat Harian
bersama menurut hukum atau konstitusi tarekat, wajib mendoakan seluruh
Ibadat Harian;
b) Dewan para imam katedral atau para penasehat Uskup
wajib mendoakan bagian-bagian Ibadat Harian, yang diwajibkan berdasarkan
hukum umum atau hukum khusus;
c) Semua anggota komunitas-komunitas
itu, yang telah menerima Tahbisan tinggi, atau sudah mengikrarkan
kaul-kaul meriah, kecuali para bruder, wajib mendaras sendiri
bagian-bagian Ibadat Harian yang tidak mereka doakan dalam koor.
96.
Para rohaniwan (klerus), yang tidak terikat kewajiban doa koor, bila
sudah menerima Tahbisan tinggi, setiap hari wajib mendoakan seluruh
Ibadat Harian, entah secara bersama, entah sendiri-sendiri, menurut
kaidah art. 89.
97.
Hendaknya ada rubrik yang menetapkan, kapan ibadat harian seyogyanya
diganti dengan kegiatan liturgis lain. Bila ada hal-hal khusus dan ada
alasan yang memadai, Uskup dapat membebaskan bawahannya dari kewajiban
mendoakan Ibadat Harian seluruhnya atau sebagian, atau menggantinya
dengan kewajiban lain.
98. (Pujian kepada Allah dalam tarekat-tarekat relegius)
Para anggota setiap Tarekat status kesempurnaan, yang berdasarkan
Konstitusi mendoakan beberapa bagian Ibadat Harian, melaksanakan doa
resmi Gereja.
Begitu pula mereka melakukan doa resmi Gereja, bila
berdasarkan Konstitusi mendaras suatu Ofisi singkat, asal Ofisi itu
disusun menurut pola Ibadat Harian dan disahkan menurut hukum.
99. (Ibadat Harian bersama)
Ibadat harian merupakan suara Gereja atau segenap Tubuh mistik yang
memuji Allah secara resmi. Maka dianjurkan supaya para rohaniwan yang
tidak terikat kewajiban doa koor, pun terutama para imam yang hidup
bersama atau sedang bersidang, sekurang-kurangnya mendoakan bersama
suatu bagian Ibadat Harian.
Semua saja yang mendoakan Ibadat Harian
dalam koor atau hanya bersama, hendaklah menunaikan tugas yang
dipercayakan kepada mereka itu sesempurna mungkin, baik dengan sikap
batin yang saleh, maupun dengan penampilan yang khidmat.
Selain itu lebih baiklah, bahwa – bila keadaan mengizinkan – Ibadat Harian dinyayikan dalam koor maupun secara bersama.
100. (Keikut-sertaan Umat beriman)
Para gembala jiwa hendaknya berusaha, supaya ibadat-ibadat pokok,
terutama Ibadat Sore, pada hari Minggu dan hari-hari raya yang lebih
meriah dirayakan bersam di gereja. Dianjurkan agar para awam pun
mendaras Ibadat Harian, entah bersama para imam, entah antar mereka
sendiri, atau bahkan secara perorangan.
101. (Bahasa)
(1) Sesuai dengan tradisi Ritus Latin yang sudah berabad-abad,
hendaknya dalam Ibadat Harian dipertahankan bahasa Latin bagi kaum
rohaniwan. Namun dalam hal-hal tertentu Uskup berwenag mengizinkan
penggunaan terjemahan dalam bahasa pribumi menurut kaidah art. 36, bagi
para rohaniwan, yang dengan memakai bahasa Latin mengalami hambatan
berat untuk mendoakan Ibadat Harian sebagaimana mestinya.
(2) Para
rubiah, begitu pula para anggota Tarekat-tarekat hidup membiara, baik pr
ia bukan rohaniwan maupun wanita, dapat diizinkan oleh Pembesar yang
berwenang untuk mendoakan Ibadat Harian, juga dalam koor, dalam bahasa
pribumi, asal terjemahan itu sudah disahkan.
(3) Setiap rohaniwan
yang wajib mendoakan Ibadat Harian, bila bersama dengan jemaat beriman,
atau bersama dengan mereka yang disebutkan pada (2), merayakan Ibadat
itu dalam bahasa pribumi, sudah memenuhi kewajibannya, asal naskah
terjemahannya sudah disahkan.
BAB LIMA – TAHUN LITURGI
102. (Makna tahun liturgi)
Bunda Gereja yang penuh kasih memandang sebagai tugasnya: pada
hari-hari tertentu di sepanjang tahun merayakan karya penyelamatan
Mempelai ilahinya dengan kenangan suci. Sekali seminggu, pada hari yang
disebut Hari Tuhan, Gereja mengenangkan Kebangkitan Tuhan, yang sekali
setahun, pada hari raya agung Paska, juga dirayakannya bersama dengan
Sengsara-Nya yang suci.
Namun selama kurun waktu setahun Gereja
memaparkan seluruh misteri Kristus, dari Penjelmaan serta Kelahiran-Nya
hingga Kenaikan-Nya, sampai hari Pentekosta dan sampai penantian
kedatangan Tuhan yang bahagia dan penuh harapan.
Dengan mengenangkan
misteri-misteri Penebusan itu Gereja membuka bagi kaum beriman kekayaan
keutamaan serta pahala Tuhan-nya sedemikian rupa, sehingga
rahasia-rahasia itu senantiasa hadir dengan cara tertentu. Umat mencapai
misteri-misteri itu dan dipenuhi dengan rahmat keselamatan.
103.
Dalam merayakan lingkaran tahunan misteri-misteri Kristus itu Gereja
suci menghormati Santa Maria Bunda Allah dangan cintakasih yang
istimewa, karena secara tak terceraikan terlibat dalam karya
penyelamatan Puteranya. Dalam diri Maria Gereja mengagumi dan memuliakan
buah Penebusan yang serba unggul, dan dengan gembira merenungkan apa
yang sepenuhnya dicita-citakan dan didambakan sendiri bagaikan dalam
citra yang paling jernih.
104.
Selain itu Gereja menyisipkan kenangan para Martir dan para Kudus
lainnya ke dalam lingkaran tahun liturgi. Berkat rahmat Allah yang
bermacam-macam mereka telah mencapai kesempurnaan dan memperoleh
keselamatan kekal, dan sekarang melambungkan pujian sempurna kepada
Allah di surga, serta menjadi pengantara kita. Sebab dengan mengenangkan
hari kelahiran para Kudus (di surga) Gereja mewartakan misteri Paska
dalam diri para Kudus yang telah menderita dan dimuliakan bersama
Kristus. Gereja menyajikan kepada kaum beriman teladan mereka, yang
menarik semua orang kepada Bapa melalui Kristus, dan karena pahalapahala
mereka, yang menarik semua orang kepada Bapa melalui Kristus, dan
karena pahala-pahala mereka Gereja memohonkan karunia-karunia Allah.
105.
Akhirnya dalam berbagai masa sepanjang tahun, menganut adat-istiadat
yang diwariskan, Gereja menyempurnakan pembinaan Umat beriman, melalui
kegiatankegiatan kesalehan yang bersifat rohani maupun jasmani,
pengajaran, doa permohonan, ulah tobat dan amal belas kasihan.
Oleh karena itu Konsili suci berkenan menetapkan pokok-pokok berikut.
106. (Makna hari Minggu ditekankan lagi)
Berdasarkan Tradisi para Rasul yang berasal mula pada hari
Kebangkitan Kristus senditi, Gereja merayakan misteri Paskah sekali
seminggu, pada hari yang tepat sekali disebut Hari Tuhan atau hari
Minggu. Pada hari itu Umat beriman wajib berkumpul untuk mendengarkan
sabda Allah dan ikut-serta dalam perayaan Ekaristi, dan dengan demikian
mengenagkan Sengsara, Kebangkitan dan kemuliaan Tuhan Yesus, serta
mengucap syukur kepada Allah, yang melahirkan mereka kembali ke dalam
pengharapan yang hidup berkat Kebangkitan Yesus Kristus dari antara
orang mati (1Ptr 1:3). Demikianlah hari Minggu itu pangkal segala hari
pesta. Hari itu hendaknya dianjurkan dan ditandaskan bagi kesalehan kaum
beriman, sehingga juga menjadi hari kegembiraan dan bebas dari kerja.
Kecuali bila memang sungguh sangat penting, perayaan-perayaan lain
jangan diutamakan terhadap Minggu, sebab perayaan Minggu memang
merupakan dasar dan inti segenap tahun liturgi.
107. (Peninjauan kembali tahun liturgi)
Tahun liturgi hendaknya ditinjau kembali sedemikian rupa, sehingga
kebiasaan-kebiasaan dan tata-tertib masa-masa suci yang sudah
turun-temurun tetap dipelihara, atau dikembalikan sesuai dengan keadaan
zaman sekarang, namun cirinya yang asli tetap dipertahankan, untuk
sungguh-sungguh memupuk kesalehan kaum beriman dalam merayakan
misteri-misteri Penebusan kristiani, terutama misteri Paska. Sekiranya
diperlukan penyesuaian-penyesuaian menurut situasi setempat hendaknya
itu dijalankan menurut kaidah art. 39 dan 40.
108.
Perhatian kaum beriman hendaknya pertama-tama diarahkan kepada
hari-hari raya Tuhan, sebab pada hari-hari itulah dirayakan
mister-misteri keselamatan sepanjang tahun. Maka dari itu Masa liturgi
sepanjang tahun hendaklah diberi tempat yang serasi, dan didahulukan
terhadap pesta-pesta para Kudus, supaya seluruh lingkaran
misteri-misteri keselamatan dikenangkan sebagaimana mestinya.
109. (Masa Prapaska)
Hendaklah baik dalam liturgi maupun dalam katekese liturgis ditampilkan lebih jelas dua ciri khas mas “empat puluh hari”
[42]
, yakni terutama mengenagkan atau menyiapkan Baptis dan membina
pertobatan. Masa itu secara lebih intensif mengajak Umat beriman untuk
mendengarkan sabda Allah dan berdoa, dan dengan demikian menyiapkan
mereka untuk merayakan misteri Paska. Maka dari itu: a) Unsur-unsur
liturgi empat puluh hari yang berkenaan dengan Baptis hendaknya
dimanfaatkan secara lebih luas; bila dipandang bermanfaat, hendaknya
beberapa unsur dari Tradisi zaman dahulu dikembalikan; b) Hal itu
berlaku juga bagi unsur-unsur yang menyangkut pertobatan Mengenai
katekese hendaknya ditamankan dalam hati kaum beriman baik dampak sosial
dosa, maupun hakikat khas pertobatan, takni menolak dosa sebagai
penghinaan terhadap Allah; jangan pula diabaikan peran Gereja dalam
tindak pertobatan, dan hendaknya doa-doa untuk para pendosa sangat
dianjurkan.
110.
Pertobatan selama masa empat puluh hari hendaknya jangan hanya
bersifat batin dan perorangan, melainkan hendaknya bersifat lahir dan
sosialkemasyarakatan. Adapun praktek pertobatan, sesuai dengan
kemungkinankemungkinan zaman kita sekarang dal pelbagai daerah pun juga
dengan situasi Umat beriman, hendaknya makin digairahkan, dan dianjurkan
oleh pimpinan gerejawi seperti disebut dalam artikel 22.
Namun puasa
Paska hendaknya dipandang keramat, dan dilaksanakan di mana-mana pada
hari Jumat kengan Sengsara dan Wafat Tuhan, dan bila dipandang
berfaedah, diteruskan sampai Sabt u suci, supaya dengan demikian hati
kita terangkat dan terbuka, untuk menyambut kegembiraan hari Kebangkitan
Tuhan.
111. (Pesta para Kudus)
Menurut Tradisi para Kudus dihormati dalam Gereja, dan relikwi asli
serta gambar dan arca mereka mendapat penghormatan. Pesta para Kudus
mewartakan karyakarya agung Kristus dalam diri para hamba-Nya dan
menyajikan kepada Umat beriman teladan-teladan yang patut ditiru. Agas
pesta para Kudus jangan diutamakan terhadap hari-hari raya uang
merupakan kenangan misteri-misteri keselamatan sendiri, hendaknya banyak
di antaranya diserahkan perayaannya kepada masingmasing Gereja khusus
atau bangsa atau Tarekat relegius. Hendaknya yang dirayakan oleh seluruh
Gereja hanyalah pesta-pesta, yang mengenangkan para Kudus yang
sungguh-sungguh penting bagi Gereja semesta.
BAB ENAM – MUSIK LITURGI
112. (Martabat musik Liturgi)
Tradisi musik Gereja semesta merupakan kekayaan yang tak terperikan
nilainya, lebih gemilang dari ungkapan-ungkapan seni lainnya, terutama
karena nyayian suci yang terikat pada kata-kata merupakan bagian liturgi
meriah yang penting atau integral.
Ternyata lagu-lagu ibadat sangat dipuji baik oleh Kitab suci
[43]
, maupun oleh para Bapa Gereja; begitu pula oleh para Paus, yang –
dipelopori oleh Santo Pius X, -akhir-akhir ini semakin cermat
menguraikan peran serta musik liturgi mendukung ibadat Tuhan.
Maka
musik liturgi semakin suci, bila semakin eret hubungannya dengan upacara
ibadat, entah dengan mengungkapkan doa-doa secara lebih mengena, entah
dengan memupuk kesatuan hati, entah dengan memperkaya upacara suci
dengan kemeriahan yang lebig semarak. Gereja menyetujui segala bentuk
kesenian yang sejati, yang memiliki sifat-sifat menurut persyaratan
liturgi, dan mengizinkan penggunaannya dalam ibadat kepada Allah.
Maka
dengan mengindahkan kaidah-kaidah serta peraturan-peraturan menurut
Tradisi dan tertib gerejawi, pun dengan memperhatikan tujuan musik
liturgi, yakni kemuliaan Allah dan pengudusan Umat beriman, Konsili suci
menetapkan gal-hal berikut.
113. (Liturgi meriah)
Upacara liturgi menjadi lebih agung, bila ibadat kepada Allah
dirayakan dengan nyayian meriah, bila dilayani oleh petugas-petugas
liturgi, dan bila Umat ikut serta secara aktif,
Mengenai bahasa yang
harus dipakai hendaknya dipatuhi ketentuan-ketentuan menurut art. 36;
mengenai Misa suci lihat art. 54; mengenai Sakramen0sakramen lihat art.
63; mengenai Ibadat Harian lihat art. 101.
114.
Khazanah musik liturgi hendaknya dilestarikan dan dikembangkan
secermat mungkin. Paduan suara hendaknya dibina dengan sungguh-sungguh,
terutama di gereja-gereja katedral. Para Uskup dan para gembala jiwa
lainnya hendaknya berusaha dengan tekun, supaya pada setiap upacara
liturgi yang dinyayikan segenap jemaat beriman dapat ikut serta secara
aktif dengan membawakan bagian yang diperuntukkan bagi mereka, menurut
kaidah art. 28 dan 30.
115. (Pendidikan musik)
Pendidikan dan pelaksanaan musik hendaknya mendapat perhatian besar
di Seminari-seminari, di novisiat-novisiat serta rumah-rumah pendidikan
para relegius wanita maupun pria, pun juga di lembaga-lembaga lainnya
dan di sekolah-sekolah katolik. Untuk melaksanakan pendidikan seperti
itu hendaknya para pengajar musik liturgi disiapkan dengan saksama.
Kecuali itu dianjurkan, supaya – bila keadaan mengizinkan – didirikan Lembaga-lembaga musik liturgi tingkat lebih lanjut.
Para
pengarang lagu dan para penyayi, khususnya anak-anak, hendaknya
mendapat kesempatan kesempatan untuk pembinaan liturgi yang memadai.
116. (Nyayian Gregorian dan Polifoni)
Gereja memandang nyayian Gregorian sebagai nyayian khas bagi liturgi
Romawi. Maka dari itu – bila tiada pertimbangan-pertimbangan yang lebih
penting – nyayian Gregorian hendaknya diutamakan dalam upacara-upacara
liturgi.
Jenis-jenis lain musik liturgi, terutama polifoni, sama
sekali tidak dilarang dalam perayaan ibadat suci, asal saja selaras
dengan jiwa upacara liturgi, menurut ketentuan pada art. 30.
117. (Penerbitan buku-buku nyayian Gregorian)
Hendaknya terbitan, otentik buku-buku nyayian Gregorian diselesaikan.
Di sampi ng itu hendaknya disiapkan terbitan lebih kritis buku-buku
yang telah diterbitkan sesudah pembaharuan oleh Santo Pius X.
Berfaedah
pula bila disiapkan terbitan yang mencantumkan lagu-lagu yang lebih
sederhana, untuk dipakai dalam gereja-gereja kecil.
118. (Nyayian rohani umat)
Nyayian rohani Umat hendaknya dikembangkan secara ahli, sehingga kaum
beriman dapat bernyayi dalam kegiatan-kegiatan devosional dan
perayaan-perayaan ibadat, menurut kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan
rubrik.
119. (Musik Liturgi di daerah-daerah Misi)
Di wilayah-wilayah tertentu, terutama di daerah Misi, terdapat
bangsa-bangsa yang mempunyai tradisi musik sendiri, yang memanikan peran
penting dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Hendaknya musik itu
mendapat penghargaan selayaknya dan tempat yang sewajarnya, baik dalam
membentuk sikap religius mereka, maupun dalam menyelesaikan ibadat
dengan sifat-perangai mereka, menurut maksud art. 39 dan 40.
Maka
dari itu dalam pendidikan musik bagi para misionaris hendaknya sungguh
diusahakan, supaya mereka sedapat mungkin mampu mengembangkan musik
tradisional bangsa-bangsa itu di sekolah-sekolah maupun dalam ibadat.
120. (Orgel dan alat-alat musik lainnya)
Dalam Gereja Latin orgel pipa hendaknya dijunjung tinggi sebagai alat
musik tradisional, yang suaranya mampu memeriahkan upacara-upacara
Gereja secara mengagumkan, dan mengangkat hati Umat kepada Allah dan ke
surga.
Akan tetapi, menurut kebijaksanaan dan dengan persetujuan
pimpinan gerejawi setempat yang berwenang, sesuai dengan kaidah art. 22
(2), 37 dan 40, alat-alat musik lain dapat juga dipakai dalam ibadat
suci, sejauh memang cocok atau dapat disesuaikan dengan penggunaan dalam
liturgi, sesuai pula dengan keanggunan gedung gereja, dan sungguh
membantu memantapkan penghayatan Umat beriman.
121. (Panggilan para pengarang musik)
Dipenuhi semangat kristiani, hendaknya para seniman musik menyadari,
bahwa mereka dipanggil untuk mengembangkan musik liturgi dan memperkaya
khazanahnya.
Hendaklah mereka mengarang lagu-lagu, yang mempunyai
sifat-sifat musik liturgi yang sesungguhnya, dan tidak hanya dapat
dinyayikan oleh paduan-paduan suara yang besar, melainkan cocok juga
bagi paduan-paduan suara yang kecil, dan mengembangkan keikut-sertaan
aktif segenap jemaat beriman.
Syair-syair bagi nyanyian liturgi
hendaknya selaras dengan ajaran Katolik, bahkan terutama hendaklah
ditimba dari Kitab suci dan sumber-sumber liturgi.
BAB TUJUH – KESENIAN RELEGIUS DAN PERLENGKAPAN IBADAT
122. (Martabat kesenian relegius)
Pada budidaya rohani manusia yang paling luhur sangat wajarlah
digolongkan seni indah, terutama kesenian relegius beserta puncaknya,
yakni kesenian liturgi. Pada hakikatnya kesenian liturgi itu dimaksudkan
untuk dengan cara yang tak terperikan dalam karya manusia. Lagi pula
semakin dikhususkan bagi Allah dan untuk memajukan puji-syukur serta
kemuliaan-Nya, karena tiada tujuannya yang lain kecuali untuk dengan
buah-hasilnya membantu manusia sedapat mungkin mengangkat hatinya kepada
Allah.
Maka dari itu Bunda Gereja yang mulia senantiasa bersikap
terbuka terhadap seni indah. Gereja selalu berusaha menemukan
pelayanannya yang luhur, terutama supaya perlengkapan ibadat suci
sungguh menjadi layak, indah dan permai, merupakan tanda dan lambang
kenyataan surgawi; dan untuk itu Gereja selalu membina para seniman.
Bahkan tepatlah Gereja selalu memandang diri berhak menilai seni indah,
dan menetapkan manakah di antara karya para seniman yang selaras dengan
iman, ketaqwaan dan hukum-hukum keagamaan yang tradisional, serta yang
cocok untuk digunakan dalam ibadat.
Secara istimewa Gereja
mengusahakan, supaya perlengkapan ibadat secara layak dan indah
menyemarakkan ibadat, dengan mengizinkan dalam bahan, bentuk atau motif
hiasan perubahan-perubahan, yang berkat kemajuan tehnik muncul di
sepanjang sejarah.
Maka mengenai hal-hal itu para Bapa Konsili berkenan menetapkan pokokpokok berikut.
123. (Corak-corak artistik)
Gereja tidak menganggap satu corak kesenian pun sebagai khas bagi
dirinya. Melainkan seraya memperhatikan sifat-perangai dan situasi para
bangsa dan kebutuhan-kebutuhan pelbagai Ritus Gereja menyambut baik
bentuk-bentuk kesenian setiap zaman, serta mengusahakan agar di
sepanjang zaman khazanah kesenian dikelola dengan cermat. Juga kesenian
zaman kita sekarang, pun kesenian semua bangsa dan daerah, hendaknya
diberi keleluasaan dalam Gereja, asal dengan khidmat dan hormat
sebagaimana harusnya mengabdi kepada kesucian gereja-gereja dan hormat
sebagaimana harusnya mengabdi kepada kesucian gereja-gereja dan
ritus-ritus. Dengan demikian kesenian diharapkan dapat menggabungkan
suaranya pada kidung pujian yang mengagumkan, yang di masa lampau oleh
para seniman yang ulang telah dianjungkan kepada imam katolik.
124.
Dalam memajukan dan mendukung kesenian ibadat para pemimpin Gereja
hendaknya berusaha memperhatikan pertama-tama keindahan yang luhur dan
bukan kemewahan. Itu hendaknya berlaku juga bagi busana dan
hiasan-hiasan untuk ibadat.
Hendaknya para Uskup sungguh berusaha
untuk mencegah, jangan sampai rumah-rumah Allah dan tempat-tempat ibadat
lainnya kemasukan karya-karya para seniman, yang bertentangan dengan
iman serta kesusilaan dan dengan kesalehan kristiani, ataupun
menyinggung cita-rasa keagamaan yang sejati entah karena bentuknya serba
jelek, entah karena kurangnya mutu seni, entah karena hanya
setengah-setengah atau tiruan belaka. Dalam mendirikan gereja-gereja
hendaknya diusahakan dengan saksama, supaya gedung-gedung itu memadai
untuk menyelenggarakan upacara-upacara liturgi dan memungkinkan Umat
beriman ikut-serta secara aktif.
125. (Gambar-gambar dan patung-patung)
Kebiasaan menempatkan gambar-gambar atau patung-patung kudus dalam
gereja untuk dihormati oleh kaum beriman hendaknya dilestarikan. Tetapi
jumlahnya jangan berlebih-lebihan, dan hendaknya disusun dengan laras,
supaya jangan terasa janggal oleh Umat kristiani, dan jangan
memungkinkan timbulnya devosi yang kurang kuat.
126.
Untuk menilai karya-karya seni hendaknya para Uskup mendengarkan
Panitia keuskupan untuk Kesenian liturgi, dan – bila perlu – juga
pakar-pakar lain, serta Panitia-panitia yang disebut dalam art. 44, 45,
46.
Hendaknya para Pimpinan Gereja menjaga dengan saksama, jangan
sampai perlengkapan ibadat atau karya-karya seni, yang merupakan hiasan
rumah Allah, dipindah-tangankan atau rusak.
127. (Pembinaan para seniman)
Hendaknya para Uskup – entah mereka sendiri, atau melalui imam yang
cocok untuk tugas itu, mahir dan mempunyai minat besar terhadap
kesenian, – memberi perhatian kepada para seniman, supaya mereka
diresapi semangat kesenian ibadat dan liturgi suci.
Selain itu
dianjurkan, supaya di daerah-daerah yang kiranya memerlukannya didirikan
sekolah-sekolah atau akademi-akademi kesenian ibadat untuk membina para
seniman.
Semua seniman, yang terdorong oleh bakat mereka bermaksud
mengabdikan diri kepada kemuliaan Allah dalam Gereja suci hendaknya
selalu ingat, bahwa mereka dipanggil untuk dengan cara tertentu
meneladan Allah Pencipta, dan menghadapi karya-karya yang dikhususkan
bagi ibadat katolik, bagi pembinaan serta ketaqwaan Umat beriman, dan
bagi pendidikan keagamaan mereka.
128. (Peninjauan kembali peraturan tentang kesenian ibadat)
Bersama dengan peninjauan kembali buku-buku liturgi menurut kaidah
art. 25, hendaknya Hukum serta ketetapan-ketetapan Gereja mengenai
benda-benda perlengkapa n ibadat pun selekas mungkin ditinjau kembali.
Adapun peraturanperaturan itu terutama menyangkut pembangunan
rumah-rumah ibadat yang pantas dan cocok, mengenai bentuk dan pembuatan
altar, mengenai keanggunan, penempatan serta keamanan tabernakel untuk
Ekaristi suci, mengenai letak panti Baptis yang baik dan kelayakannya,
begitu pula mengenai cara memperlakukan dengan tepat gambar-gambar atau
patung-patung kudus, hiasan maupun pajangan. Apa saja yang kiranya
kurang cocok dengan liturgi baru hendaknya diperbaiki atau ditiadakan.
Sedangkan apapun yang memajukannya dilestarikan atau ditambahkan.
Dalam
hal itu, terutama berkenaan dengan bahan dan bentuk perlengkapan serta
pakaian ibadat, diberikan wewenang kepada Konferensi Uskup sewilayah,
untuk menyesuaikannya dengan kebutuhan serta adat-istiadat setempat,
menurut kaidar art. 22 Konferensi ini.
129. (Pembinaan kesenian bagi kaum rohaniwan)
Selama menekuni studi filsafat dan teologi, para rohaniwan hendaknya
mendapat pelajaran tentang sejarah kesenian gerejawi serta
perkembangannya, pun juga tentang azaz-azaz yang sehat, yang harus
mendasari karya-karya kesenian itu. Dengan demikian mereka akan
menghargai dan menjaga lestarinya peninggalan-peninggalan Gereja yang
terhormat, dan akan mampu memberi nasehat-nasehat yang cocok kepada para
seniman untuk mengerjakan karya mereka.
130. (Penggunaan lambang-lambang jabatan Uskup)
Sudah sepantasnyalah lambang-lambang jabatan Uskup hanya boleh
dikenakan oleh para rohaniwan yang ditandai oleh materai episkopal, atau
mempunyai suatu yurisdiksi istimewa.
LAMPIRAN – PERNYATAAN KONSILI EKUMENIS VATIKAN II TENTANG PENINJAUAN KEMBALI PENANGGALAN LITURGI
Banyaklah jumlah mereka yang berhasrat, agar hari raya Paska
ditetapkan pada hari Minggu tertentu, dan disusun penanggalan liturgi
yang tetap. Konsili Ekumenis Vatikan II menilai hasrat itu sangat
penting, dan telah mempertimbangkan dengan cermat semua akibat yang
mungkin timbul bila penanggalan baru itu mulai digunakan. Maka Konsili
menyampaikan pernyataan sebagai berikut:
1. Konsili suci tidak
berkeberatan, bahwa hari raya Paska ditetapkan pada hari Minggu tertentu
dalam Penaggalan Gregorian, asal mereka yang berkepentingan
menyetujuinya, terutama para saudara yang berada di luar persekutuan
dengan Takhta Apostolik.
2. Begitu pula Konsili suci menyatakan
dirinya tidak berkeberatan terhadap usaha-usaha yang telah dirintis,
untuk mengadakan penanggalan tetap dalam masyarakat sipil.
Akan
tetapi di antara pelbagai sistem, yang dipikirkan untuk menciptakan
penanggalan yang tetap dan memberlakukannya bagi masyarakat sipil, yang
tidak ditentang oleh Gereja hanyalah sistem-sistem, yang melestarikan
serta mempertahankan pekan dengan tujuh hari termasuk hari Minggu, tanpa
menyisipkan hari-hari lain di luar pekan itu, sehingga rangkaian
pekan-pekan tetap terpelihara seutuhnya kecuali bila ada alasan-alasan
yang sungguh berat. Mengenai hal itu Takhta Apostoliklah yang akan
mengambil keputusan.
Semua itu dan setiap hal yang dinyatakan dalam
Konstitusi ini telah berkenan kepada para Bapa Konsili suci. Adapun
Kami, dengan kuasa kerasulan yang diserahkan Kristus kepada Kami,
bersama dengan para Bapa yang terhormat, mengesahkan, menetapkan serta
mengundangkannya dalam Roh Kusus. Dan Kami memerintahkan, agar apa yang
telah ditetapkan bersama dalam Konsili ini diumumkan demi kemuliaan
Allah.
Roma, di Gereja Santo Petrus, tanggal 4 Desember tahun 1963
Saya PAULUS Uskup Gereja Katolik
(Menyusul tanda tangan para Bapa Konsili)